Keadilan adalah dambaan setiap insan. Tanpa melihat latar belakangnya, pasti setiap orang menginginkan keadilan dan menolak segala bentuk kezaliman.

Keadilan tidak boleh memihak. Jika keadilan memihak, misalnya tunduk pada kepentingan penguasa atau tumpul ke atas dan tajam ke rakyat, maka yang lahir adalah kezaliman.
Pertanyaannya, mana yang sekarang berlaku? Keadilankah, atau justru ketidakadilan?

Hadirin jamaah jumah rahimakumullah,
Ketidakadilan akan selalu muncul dalam sistem buatan manusia, seperti yang terjadi di negeri ini. Mengapa?

Pertama: Sistem hukum dan peradilan di negeri ini sangat dipengaruhi dan dilandasi oleh sistem hukum dan peradilan Barat yang sekuler. Sekularisme Barat melahirkan sistem demokrasi yang memberikan kebebasan kepada manusia untuk menetapkan hukum tanpa terikat oleh ajaran agama. Sistem hukum dan peradilan telah nyata mencampakkan hukum dari Zat Yang Maha adil, Allah subhanahu wa ta’ala. Karena itu, dapat dipastikan produk hukum yang dibuat pasti tidak sempurna dan memiliki banyak kelemahan.

Di sisi lain, manusia memiliki interest (kepentingan) baik pribadi maupun kelompok. Atas dasar ini, wajar jika hukum yang dihasilkan oleh rekayasa pemikiran manusia semata akan menghasilkan ketidakadilan. Hukum sangat berpihak kepada siapa yang berkuasa dengan berbagai kepentingannya. Persamaan di depan hukum menjadi tidak ada. Sebabnya, sejak awal hukum memang tidak diperuntukkan bagi semua. Inilah cacat hukum produk demokrasi.

Yang kedua: Bobroknya mental sebagian aparat penegak hukum. Entah polisi, jaksa atau hakim. Pasalnya, dalam sistem yang jauh dari tuntunan agama (Islam), siapapuntermasuk para aparat penegak hukumbegitu mudah tergiur oleh uang, jabatan, perempuan dan godaan duniawi lainnya.

Hadirin jamaah jumah rahimakumullah,
Syariah Islam turun untuk mewujudkan keadilan. Sebab, syariah Islam bersumber dari Zat Yang Maha adil. Allah Yang Maha adil telah menetapkan sejumlah aturan atau hukum untuk mengatur kehidupan manusia di dunia. Orang yang melanggar aturan atau hukum-Nya dinilai berdosa dan bermaksiat. Dia bisa dikenai sanksi di dunia atau diazab di akhirat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا فَعُوْقِبَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ وَ مَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا فَسَتَرَهُ اللهُ عَلَيْهِ إِنْ شَاءَ غَفَّرَ لَهُ وَ إِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ

Siapa yang melanggar (ketentuan Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya), lalu diberi sanksi, itu merupakan penebus dosa bagi dirinya. Siapa saja yang melanggar (ketentuan Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya), namun (kesalahannya) ditutupi oleh Allah, maka jika Allah berkehendak, Dia akan mengampuni dirinya; dan jika Dia berkehendak, Dia akan mengazab dirinya (HR al-Bukhari)

Ingatlah, bagi kita sebagai Muslim, wajib hukumnya meyakini bahwa hanya hukum Allah yang terbaik. Allah subhanahu wa ta’ala sendiri yang menegaskan demikian:

‌ أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُون
Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? Hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin? (TQS al-Maidah [5]: 50).

Syaikh Wahbah az-Zuhaili menerangkan, ayat ini bermakna bahwa tak ada seorang pun yang lebih adil daripada Allah subhanahu wa ta’ala, juga tak ada satu hukum pun yang lebih baik daripada hukum-Nya (Az-Zuhaili, At-Tafsir al-Munir, 6/224).

Karena itu, keadilan merupakan sifat yang melekat pada Islam itu (Lihat: QS al-An’am [6]: 115). Sebaliknya, saat Islam jauh. Al-Quran tidak menjadi rujukan dalam hukum yang bakal terjadi adalah kezaliman. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Siapa saja yang tidak berhukum dengan apa yang telah Allah turunkan (Al-Qur’an) merekalah para pelaku kezaliman (TQS al-Maidah [5]: 45).

Maka, keadilan dan Islam adalah satu-kesatuan. Tidak aneh jika para ulama menegaskan keadilan (al-‘adl) sebagai sesuatu yang tak mungkin terpisah dari Islam.

Keadilan hanya mungkin terjadi saat Islam tegak. Islam hanya mungkin tegak dengan kekuasaan. Karena itu dalam Islam, kekuasaan tentu amat penting.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyadari pentingnya kekuasaan sejak awal. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَقُلْ رَبِّ أَدْخِلْنِي مُدْخَلَ صِدْقٍ وَأَخْرِجْنِي مُخْرَجَ صِدْقٍ وَاجْعَلْ لِي مِنْ لَدُنْكَ سُلْطَانًا نَصِيرًا
Katakanlah (Muhammad), “Tuhanku, masukkanlah aku dengan cara masuk yang benar dan keluarkanlah aku dengan cara keluar yang benar serta berikanlah kepada diriku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong. (TQS al-Isra [17]: 80).

Imam Ibnu Katsir, saat menjelaskan frasa wajallii min ladunka sulthân[an] nashîrâ dalam ayat di atas, dengan mengutip Qatadah, menyatakan, Dalam ayat ini jelas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyadari bahwa tidak ada kemampuan bagi beliau untuk menegakkan agama ini kecuali dengan kekuasaan. Karena itulah beliau memohon kepada Allah kekuasaan yang bisa menolong, yakni untuk menerapkan Kitabullah, memberlakukan hudûd Allah, melaksanakan ragam kewajiban dari Allah dan menegakkan agama Allah (Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qurán al-Ázhim, 5/111).

Alhasil, meraih kekuasaan sangatlah penting. Namun, yang lebih penting, kekuasaan itu harus diorientasikan untuk menegakkan syariah Islam secara kaffah. Hanya dengan penegakan dan penerapan syariah Islam secara kaffah, keadilan bagi semua akan tercipta. Saat keadilan tercipta, kezaliman pun pasti sirna.[]

Sumber : https://seruanmasjid.com/

Berharap Keadilan Hanya Kepada Sistem Islam
Tag pada:

2 gagasan untuk “Berharap Keadilan Hanya Kepada Sistem Islam

  • September 10, 2021 pukul 23:09
    Permalink

    alhamdulillah, semoga bermanfaat, barakallah

    Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *